Javanese Black Metal, sebuah sub-kultur baru di Jawa yang hanya sekedar “Gimmick” atau merupakan “Way of Life”?
Di era modern sekarang ini dimana kemudahan akses media menjadikan
mudahnya pula perkembangan informasi di seluruh penjuru dunia. Salah
satu dari dampak tersebut yaitu semakin berkembang pula genre musik di
kancah industri musik dunia. Begitu juga yang terjadi di Indonesia. Di
Indonesia semakin berkembang ragam genre musik popular atau musik yang
orientasinya adalah industri. Beberapa genre musik yang tumbuh subur di
Indonesia seperti Rock, Metal, Jazz, Rap, Reggae, Blues, R’n B dan masih
banyak lagi, hingga yang kini lagi marak adalah demam K-Pop.
Perkembangan di blantika musik dunia beberapa genre atau sub-genre baru
makin bermunculan, baik berkembang pada suatu genre atau gabungan. Suatu
genre musik yang berkembang beberapa contohnya adalah Death Metal,
sebuah genre yang berakar dari Heavy Metal, berkembang dengan tempo
serta permainan musik yang lebih ekstrem. Adapun genre musik yang
menggabungkan dua genre salah satunya Hip Metal, yang menggabungkan
unsur Hip-Hop (Rap) yang dibalut dengan musik Metal. Yang menjadi unik
dari hal-hal tersebut tidak hanya sekedar berhenti pada bentuk jenis
musiknya saja, tetapi kultur yang terkandung dalam setiap genre juga
diikuti oleh para pelakunya atau penikmatnya. Entah hanya sekedar
ikut-ikutan atau memang sudah menjadi bagian dari kebutuhan hidup.
Begitu juga yang akan penulis bahas di tulisan ini mengenai budaya
Javanese Black Metal yang merupakan sub-genre baru dari Black Metal yang
berkembang di pulau Jawa.
Black Metal sendiri mulai
menjamur di Indonesia diawali pada tahun 1995, yang dipioniri oleh band
Makam, Ritual Orchestra, Dry dan Hellgods. Berkembangnya musik Black
Metal diikuti dengan kontroversial yang membuat musik Black Metal malah
divonis sebagai musik sesat. Misal, penyembelihan kelinci di atas
panggung, pembakaran dupa dan kemenyan, dan hal-hal lain yang mengundang
sensasi serta membuat bulu kuduk bergidik. Selanjutnya berkembang dan
bermunculan band-band Black Metal dengan berbagai kreatifitasnya hingga
saat ini. Beberapa nama band Black Metal karya anak negeri antara lain
Mystis, Bandoso, Perjamuan Terakhir, Mathem Physofic, Kamar Mayat,
Amerta, Petilasan, Betoro Katon, Durhaka, Gerhana Total, Kedjawen,
Nosferatu dan masih banyak lagi. Dari beberapa nama band tersebut
memainkan sub-genre yang berbeda, salah satunya sub-genre Javanese Black
Metal yang lekat dengan budaya Jawa dan unsur-unsur Kejawen, sebuah aliran kepercayaan orang Jawa kuno sebelum masuknya agama.
Awal
kemunculan genre Black Metal di dunia sebenarnya hampir mirip dengan
kasus genre Death Metal. Pada awalnya “Black Metal” cuma sebuah album
yang dirilis tahun 1982 oleh band Thrash Metal yaitu Venom. Band ini
memasukkan unsur-unsur yang berbau satanis ke dalam musik mereka.
Rupanya hal tersebut membuat album ini sukses dan akhirnya banyak
bermunculan band-band lain seperti Bathory (Swedia) dan Celtic Frost
(Switzerland) yang mengusung aliran seperti pada album itu. Singkatnya
Black Metal menjadi virus baru di daratan Eropa. Keberadaan band-band
tersebut dikenal sebagai gelombang pertama invasi Black Metal di Eropa.
Kemunculan gelombang keduanya di rentang 80-an hingga 90-an dan wilayah endemitnya paling banyak di Norwegia, seperti Mayhem, Burzum dan Darkthrone.
Satanisme dalam Black Metal terbagi dua, sekedar gimmick (image yang dibentuk hanya untuk keperluan publisitas) dan way of life. Contoh Black Metal yang sekedar gimmick
adalah Venom, Bathory dan tentu saja Cradle of Filth dan juga hampir
semua band Black Metal diluar wilayah Norwegia. Sedangkan satanisme
sebagai way of life dalam Black Metal dipelopori oleh band-band Norwegia.
Oystein
Aarseth (alias Euronymous, gitaris Mayhem) dan Varg Vikernes (alias
Count Grishnackh, Burzum) sebagai tangan kanannya membentuk Inner
Circle. Dengan kedua belas anggotanya memimpin komunitas Black Metal
Norwegia. Inner Circle inilah yang menentukan arah pergerakan Black
Metal di Norwegia, mereka lah yang menyusun rencana yang nantinya akan
dilaksanakan oleh mereka yang berada di Outer Circle. Dan terbakarlah
sekitar 14 gereja sejak 1992 dan beberapa penyerangan terhadap band-band
metal yang tidak sepaham dengan mereka.
Hal yang paling
menarik perhatian adalah filosofi dari pergerakan Black Metal Norwegia
ini, alasan kebencian mereka terhadap Kristen sama sekali tidak seperti
yang dibayangkan selama ini. Satanis dalam konteks mereka berbeda dengan
Anton LaVey (Pendiri Gereja Setan) dan Crowley. Mereka melawan Kristen
dengan tujuan untuk mengusir mereka dari Norwegia dan mengembalikan
kembali budaya Pagan kuno dan kebangkitan budaya-budaya Viking kuno
seperti misalnya pertumpahan darah dan membunuh untuk pembalasan dendam.
Mereka sangat membenci Kristen yang begitu mengagung-agungkan kelemahan
dan atas simpati mereka kepada mereka yang lemah dan membutuhkan
pertolongan. Oleh karena itulah Inner Circle menggagas ide untuk
membakar simbol kebanggaan Kristen di Norwegia, gereja-gereja kuno indah
yang terbuat dari kayu. Mereka berharap orang-orang Norwegia segera
tersadar bahwa mereka tetap merupakan anak-anak Odin (dewa bangsa
Viking).
Sub-genre yang diturunkan dari Black Metal
bermacam-macam diantaranya Gothic Black Metal, Symphonic Black Metal,
Folk Black Metal yang mengutamakan penggunaan instrumen-instrumen
"indah" macam biola atau penggunaan teknik-teknik tertentu yang bersifat
tradisional bagi orang-orang Eropa, Melodic Black Metal yang diusung
Dimmu Borgir (Norwegia), dicirikan dengan dosis elemen melodic
yang lebih banyak. Begitu juga di Indonesia (Jawa) salah satunya muncul
sub-genre baru yaitu Javanese Black Metal -para pelakunya menyebut
demikian, dan hingga saat ini belum jelas siapa yang memulai istilah
tersebut-, yang diusung oleh beberapa band seperti Kamar Mayat,
Perjamuan Terakhir, Bandoso, Methem Physofic, Mystis, Brobosan, Mayonggo
Seto dan sebagainya.
Menurut pengamatan penulis band-band
Black Metal yang mengusung sub-genre Javanese Black Metal di Jawa
sangat beragam tetapi bercorak sama. Berikut unsur-unsur budaya suku
Jawa yang terkandung dalam konsep-konsep band Javanese Black Metal, yang
diimplementasikan melalui berbagai macam bentuk, yaitu memasukkan
bahasa Jawa ke dalam lirik lagunya seperti Methem Physofic, penggunaan
gending-gending Jawa pada awal lagu, dalam istilah Karawitan Jawa yaitu buka (baca : buko), penggunaan instrumen-instrumen Karawitan Jawa seperti rebab, siter dan ada yang menggunakan balungan
(sharon dan demung). Beberapa band menggunakan nama dari hal-hal mistis
atau yang berkaitan dengan kematian dalam bahasa Jawa seperti Makam,
Bandoso, Mayonggo Seto, Santet, Brobosan dan lain-lain. Penggunaan
nada-nada pentatonis pelog ataupun slendro, hal ini yang selalu
dilakukan oleh band-band Javanese Black Metal. Dan yang terakhir adalah
penggunaan atribut atau kostum para pengusung Javanese Black Metal
menyerupai setan-setan dalam mitologi Jawa seperti kostum Pocongan dan Wewe, yang tidak hanya sekedar mengecat muka (Corpse Paint) seperti yang dilakukan semua band Black Metal. Corpse Paint bermaksud untuk menciptakan citra mayat dalam diri mereka, atau secara ideologi mereka ingin mengutarakan konsep inhumanity yang immortal, melawan sifat mortal alami dalam diri manusia. Selain konsep immortality tersebut, Corpse Paint juga dipakai dalam pernyataan diri sebagai seorang satanis.
Selain unsur budaya suku Jawa band-band pengusung Javanese Black Metal juga mengangkat unsur-unsur Kejawen.
Misal aksi panggung yang menyertakan ritual orang-orang Jawa seperti
membakar kemenyan, dupa dan menyebarkan kembang tujuh rupa, biasanya hal
ini standar yang dilakukan band-band Black Metal yang mengusung
sub-genre Javanese Black Metal. Selain itu mereka juga menyampaikan
konsep Kejawen melalui lagu, misal Mathem Physofic dalam salah
satu lagunya berjudul “Sukmaning Aji Jaran Goyang” yang menceritakan
sebuah kekuatan mantra pemikat wanita. Mystis dengan albumnya “Spirit of
Merapi Forest”, yang menceritakan konsep-konsep Kejawen, dan masih banyak lagi contoh lainnya. Selain pesan yang disampaikan melalui lagu, ada pula yang melalui simbol-simbol Kejawen
dalam albumnya, poster dan atribut, misalkan Garuda, sebuah mitologi
orang Jawa yang menggambarkan manusia setengah burung Rajawali dan
Elang.
Sebagian besar band-band yang membawa konsep-konsep Kejawen
tersebut bertujuan untuk memperkenalkan kembali sistem aliran
kepercayaan orang Jawa kuno yang sudah mulai pudar karena pengaruh
agama. Hal ini seperti yang dilakukan oleh band-band asal Norwegia yang
bertujuan mengembalikan kembali budaya Pagan kuno dan kebangkitan
budaya-budaya Viking kuno. Namun menjadi beda khasusnya karena di
Norwegia para pelaku Black Metal memerangi Kristen menganggap bahwa
Kristen sudah sangat menguasai budaya setempat, sedangkan di Jawa
band-band Javanese Black Metal juga turut memerangi Kristen (Anti
Kristus), misal tetap menggunakan atribut “salib terbalik” seperti yang
dilakukan standar band Black Metal dunia, padahal agama Kristen di Jawa
tidak berpengaruh besar. Justru sistem kepercayaan Kejawen
banyak berubah dan berakulturasi dengan budaya Islam. Seharusnya mereka
memerangi Islam, -memerangi Islam disini bukan memerangi agama, tetapi
memerangi sebuah kekuasaan-, bukan Kristen. Selain itu mereka juga
menggunakan atribut atau simbol-simbol yang sering dipakai standar band
Black Metal dunia (khususnya di luar Norwegia) antara lain seperti
Bintang Terbalik, Kepala Kambing (Baphomet), 666, yang merupakan
simbol-simbol Satanisme. Sedangkan sebenarnya dalam Kejawen tidak pernah mengajarkan untuk memerangi Kristen, apalagi sampai mengajarkan untuk “tidak memuja Tuhan”.
Dari tulisan ini akhirnya muncul sebuah pertanyaan, band-band Javanese Black Metal yang mengusung konsep-konsep Kejawen hanya sekedar “gimmick” atau “way of life”? Jika adalah “gimmick” bukan kah konsep Kejawen
yang diusung sebenarnya sangat luar biasa? Tetapi jika benar-benar “way
of life”, kenapa mereka masih terjebak pada konsep band-band Black
Metal dunia (khususnya di luar Norwegia)? Yang akhirnya hanya terjebak
pada istilah “sekedar ikut-ikutan” atau hanya sebatas “life style” dan
“trend” saja.